SV UGM selenggarakan Seminar Nasional Teknologi Terapan (SNTT) 2018 di Garden Room Hotel Eastparc Yogyakarta, Sabtu (13/10) yang lalu. Seminar tersebut mengusung tema “Sinergi Pendidikan Tinggi Vokasi dan Industri dalam Menyongsong Revolusi Industri 4.0”. Sekretaris Jendral Kementrian Perindustrian Republik Indonesia, Dr. Haris Munandar N, dalam pidatonya disampaikan bahwa sinergi antara Industri dan Perguruan Tinggi sangat dibutuhkan dalam menyongsong Revolusi Industri 4.0.
“Kita hari ini dituntut menghadapi Revolusi Industri 4.0 tetapi sayang sumber daya manusia kita masih 0.4,” tutur Dr. Haris yang disambut tawa para hadirin. Dalam penjelasan paparannya yang berjudul “Making Indonesia 4.0” tersebut, Dr. Haris melanjutkan bahwa pemerintah dalam hal ini Kementrian Perindustrian berfokus pada sepuluh prioritas untuk mewujudkan “Making Indonesia 4.0”: perbaikan alur aliran material, mendesain ulang zona industri, akomodasi standar sustainability, pemberdayaan UMKM, membangun infrastruktur digital nasional, menarik investasi asing, peningkatan kualitas SDM, pembentukan ekosistem inovasi, menerapkan insentif investasi teknologi, dan harmonisasi aturan kebijakan.
Hari ini pemerintah, lanjut Dr. Haris, sedang berfokus pada lima sektor Industri 4.0 yakni makanan dan minuman, tekstil dan busana, otomotif, kimia, dan elektronik. Lima hal ini akan direspon dengan aksi segera (quick wins) dengan pemberian insentif teknologi, investor roadshow, pusat inovasi, dukungan untuk UMKM dan upskilling dan reskilling melalui penguatan pendidikan vokasi. “Di sinilah ketemunya sinergi antara industri dan pendidikan tinggi, lebih khusus vokasi,” tuturnya.
Dr. Anggito Abimanyu, M.Sc., dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis, Sekolah Vokasi UGM yang menjadi pembicara kunci kedua menyampaikan bahwa hari ini talent menjadi salah satu dari 12 faktor daya saing ekonomi. Dalam paparannya ia menjelaskan ada enam talent yang dibutuhkan dalam bisnis keuangan modern. “Enam hal tersebut adalah fintech and digital application, social entrepreneurship, forensic accountant, shariah finance, crowdfunding, dan cyptocurrency,” tutur Dr. Anggito yang juga menjabat sebagai Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Republik Indonesia ini.
Kebijakan pendidikan vokasi adalah “education follow industry”, lanjut Dr. Anggito. Hari ini pertumbuhan industri, lebih khusus keuangan berjalan begitu cepat. “Kita hari ini tertinggal lebih dari 20 tahun merespon hadirnya fintech,” Dr. Anggito memberi contoh. Maka, dengan keunggulan di praktek dengan proporsi 70% yang program studinya lebih berbasis kompetensi dan orientasinya siap pakai, Dr. Anggito di akhir presentasinya mengingatkan bahwa lima hal yang menjadi tantangan pendidikan vokasi, lebih khusus industri keuangan adalah literasi, inklusi dan ekspansi kuangan, aplikasi fintech dan digital yang dinamis, kesiapan SDM profesional dan terapan, kompetensi sesuai kebutuhan industri serta regulasi dan kebijakan pemerintah.
Setelah general session, SNTT 2018 dilanjutkan dengan paralel session. Sebanyak 152 presenter dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia memaparkan hasil penelitiannya yang dibagi dalam delapan ruang berdasarkan simposianya. “Alhamdulillah semua berjalan baik. Kita berusaha memperbaiki dari penyelenggarakan tahun lalu. Jika masih terdapat kekurangan semoga bisa disempurnakan dalam SNTT tahun mendatang,” tutur Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi, Ketua Panitia SNTT 2018 dari Departemen Bahasa, Seni, dan Manajemen Budaya yang merupakan doen Program Studi Diploma Kepariwisataan.