Yogyakarta, Terapi bagi para penderita autis bermacam-macam. Sifat dari terapi tersebut salah satunya yakni menyenangkan, yang diwujudkan dengan bermain. Sarana terapi membawa anak ke dalam kondisi menyenangkan yang memiliki dampak yang positif, contohnya saja mampu melatih berbagai potensi yang terdapat pada anak tersebut.
Melihat kondisi tersebut, alat terapi bagi anak penderita autis memiliki potensi untuk dikembangkan yang memungkinkan melatih kognitif sekaligus motorik pada anak penderita autism, khususnya bagi anak penderita Hipoaktif. Ketertarikan anak penderita autisme terhadap sarana terapi autis sendiri merupakan salah satu kunci dari suksesnya pelaksanaan terapi.
Tiga mahasiswa UGM yakni Raka Cahya Prambada (D3 Teknologi Instrumentasi 2017), Melia Rosmawati (S1 Ilmu Keperawatan 2017), Nia Lestari Muqarohmah (S1 Ilmu Keperawatan 2017) mengembangkan sebuah alat terapi berwujud lampu edukatif berbasis sensor suara yang ditujukan untuk anak penderita autis.
Alat ini berbekal pita LED dan microphone yang berperan sebagai sensor suara yang tersambung dengan microcontroller. Alat ini memberi respon berupa menyalanya lampu LED setelah sensor berupa suara di tangkap oleh microphone yang kemudian diproses oleh microcontroller. “Hal ini memang sangat sederhana dan banyak orang bisa mewujudkannya tanpa harus mengeluarkan biaya mahal. Walaupun efek yang dapat diamati membutuhkan jangka waktu yang cukup lama, namun kami berharap alat ini dapat terus dikembangkan sehingga dapat memnberikan efek terapi yang optimal. ” ujar Raka.
Alat ini merupakan sebuah inovasi perwujudan sarana terapi autis yang lebih modern dan lebih interaktif . Alat ini diharapkan mampu memberikan dampak sebagai sarana terapi maupun sarana edukasi sehingga penderita mampu belajar bagaimana cara mengontrol dan mengelola diri sendiri, serta mampu memberikan sarana terapi yang responsif terhadap aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh para penderita autis, seperti dapat bertepuk tangan yang merupakan bentuk upaya untuk mengasah motorik dan juga melatih anak untuk mampu berkomunikasi.
“Kami berharap alat ini mampu dikembangkan lagi dan mampu menggugah khalayak umum untuk mewujudkan segala bentuk kepedulian terhadap kaum disabilitas khususnya terhadap anak penderita autis,” tutur Melia.