Penelitian yang baru saja selesai yang membandingkan lanskap linguistik di Malaka, Malaysia, dan Yogyakarta, Indonesia, telah memberikan wawasan yang berharga mengenai hubungan antara bahasa, identitas budaya, dan warisan kota. Dilaksanakan antara Januari dan Oktober 2024 di bawah peta jalan penelitian Universitas Gadjah Mada, proyek ini mengeksplorasi bagaimana bahasa yang ditampilkan di ruang publik mencerminkan emosi, persepsi, dan identitas budaya masyarakat di kota-kota bersejarah ini. Temuan-temuan ini menawarkan pemahaman yang kaya tentang bagaimana lanskap linguistik tidak hanya mendokumentasikan warisan budaya, tetapi juga membentuk masa depan pembangunan perkotaan.
Berdasarkan data yang dikumpulkan dari responden Generasi Z melalui wawancara dan kuesioner, penelitian ini meneliti persepsi tentang elemen linguistik yang ditemukan di jalan-jalan di Malaka yang bersejarah dan landmark di sepanjang poros kosmologi Yogyakarta. Para partisipan muda ini memberikan perspektif yang unik, yang mencerminkan suara dari sebuah generasi yang menavigasi tradisi dan modernisasi. Data yang diolah menggunakan perangkat lunak NVivo 19 mengungkapkan pola penggunaan bahasa, representasi simbolis, dan resonansi emosional yang menarik dalam lanskap bahasa di kedua kota tersebut.
Salah satu temuan utama adalah adanya tema-tema universal yang menghubungkan kedua kota tersebut. Baik Malaka maupun Yogyakarta menunjukkan adanya hubungan yang mendalam antara elemen linguistik dan identitas budaya. Aksara tradisional, seperti aksara Jawa di Yogyakarta dan aksara Cina di Malaka, sering digambarkan oleh para responden sebagai simbol kebanggaan dan kesinambungan budaya. Aksara ini, yang ditampilkan secara mencolok di papan nama toko, nama jalan, dan pemberitahuan publik, mewakili narasi sejarah kota-kota tersebut dan berfungsi sebagai pengingat akan warisan multikultural mereka. Para responden secara konsisten menekankan bagaimana elemen-elemen linguistik ini membangkitkan rasa memiliki, nostalgia, dan rasa hormat terhadap warisan mereka.
Terlepas dari kesamaan-kesamaan ini, penelitian ini juga menemukan ciri-ciri unik yang membedakan lanskap bahasa di Malaka dan Yogyakarta. Di Malaka, perpaduan antara bahasa Melayu, Inggris, dan Cina menyoroti masa lalu kolonial kota ini dan perannya sebagai pusat perdagangan. Para responden mencatat bahwa campuran bahasa di rambu-rambu jalan dan iklan mencerminkan identitas multikultural kota yang dinamis, namun juga menimbulkan pertanyaan tentang dominasi bahasa tertentu di ruang publik. Sebagai contoh, meningkatnya prevalensi bahasa Inggris dalam papan nama modern dilihat oleh beberapa orang sebagai simbol globalisasi, tetapi oleh yang lain sebagai ancaman potensial terhadap tradisi lokal. Sebaliknya, lanskap linguistik Yogyakarta menonjol karena penekanannya yang kuat pada aksara Jawa, terutama pada landmark yang selaras dengan poros kosmologi kota. Prasasti-prasasti ini tidak hanya dilihat sebagai elemen dekoratif tetapi juga sebagai simbol yang sangat bermakna yang menghubungkan kota masa kini dengan akar spiritual dan sejarahnya. Para responden di Yogyakarta sering menggambarkan penggunaan aksara Jawa sebagai bentuk perlawanan budaya dan pernyataan identitas dalam menghadapi urbanisasi yang cepat.
Tanggapan emosional dan persepsi yang dikumpulkan selama penelitian ini semakin menggarisbawahi pentingnya lanskap linguistik dalam menumbuhkan identitas masyarakat. Bagi banyak responden, bahasa yang ditampilkan di ruang publik tidak hanya fungsional tetapi juga sangat simbolis. Di Malaka, papan nama yang mengandung unsur tradisional Melayu atau Cina membangkitkan rasa bangga akan sejarah maritim dan pencapaian multikultural kota tersebut. Demikian pula di Yogyakarta, integrasi simbol-simbol Jawa di ruang-ruang keseharian memperkuat hubungan spiritual kolektif dan komitmen bersama untuk melestarikan tradisi lokal. Keterikatan emosional ini menunjukkan bahwa lanskap linguistik bukan hanya cerminan pasif dari identitas sebuah kota, tetapi juga merupakan partisipan aktif dalam membentuk bagaimana masyarakat memandang diri mereka sendiri dan warisan mereka.
Penelitian ini juga menyoroti interaksi dinamis antara modernisasi dan pelestarian dalam lanskap bahasa. Kedua kota tersebut mengalami perkembangan kota yang pesat, yang telah menyebabkan ketegangan antara merangkul pencitraan kontemporer dan mempertahankan elemen budaya tradisional. Para responden menyatakan keprihatinan mereka tentang berkurangnya visibilitas bahasa lokal yang digantikan oleh bahasa global, terutama di ruang-ruang komersial. Tren ini dipandang sebagai risiko potensial terhadap keaslian identitas kota. Namun, temuan-temuan tersebut juga mengungkapkan peluang untuk inovasi, menunjukkan bahwa perencana kota dan pembuat kebijakan dapat mengintegrasikan elemen linguistik tradisional ke dalam desain modern.
Sebagai kesimpulan, penelitian ini telah menunjukkan peran penting lanskap linguistik dalam merefleksikan dan membentuk identitas budaya kota-kota bersejarah. Dengan memperkuat suara Generasi Z, penelitian ini telah memberikan gambaran sekilas tentang masa depan pelestarian budaya dan pembangunan perkotaan di Malaka dan Yogyakarta. Temuan-temuan ini menjadi ajakan bagi pemerintah daerah, perencana kota, dan pemangku kepentingan budaya untuk memprioritaskan integrasi warisan budaya ke dalam kebijakan perkotaan yang berkelanjutan. Seiring dengan perkembangan kedua kota ini, lanskap linguistik mereka akan tetap menjadi alat yang ampuh untuk mendorong ketahanan budaya dan keterlibatan masyarakat, memastikan bahwa sejarah mereka yang kaya akan sejarah tetap relevan dan menginspirasi generasi yang akan datang.