Seiring dengan meningkatnya tren walking tour, Yogyakarta berada di garis depan pariwisata berkelanjutan. Kota yang kaya akan warisan budaya ini menunjukkan peningkatan keragaman walking tour yang tidak hanya mempromosikan budaya lokal tetapi juga berkontribusi pada Sustainable Development Goals (SDGs). Namun, perjalanan menuju pelaksanaan kegiatan penyedia walking tour yang berkembang menghadapi tantangan dan kebutuhan yang harus diatasi.

Walking tour menawarkan cara unik bagi wisatawan untuk terlibat dengan budaya lokal, memberikan pengalaman mendalam yang sering kali kurang dalam wisata tradisional atau mass tourism. Seiring semakin banyak wisatawan yang mencari pengalaman otentik, ragam jenis walking tour di Yogyakarta semakin meningkat. Tren ini sejalan dengan tujuan SDG untuk mempromosikan pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi karena menciptakan peluang kerja bagi pemandu lokal dan mendukung usaha kecil.
Pertumbuhan walking tour di Yogyakarta tidak terjadi tanpa tantangan. Salah satu kebutuhan utama dalah dukungan regulasi dari pemerintah setempat. Pedoman dan regulasi yang jelas sangat penting untuk memastikan bahwa penyedia walking tour beroperasi dalam kerangka yang mempromosikan keselamatan, keberlanjutan dan pelestarian budaya. Keselamatan dalam hal ini mobilitas peserta walking tour yang membutuhkan area pedestrian yang lebih nyaman, sementara di Yogyakarta saat ini area pedestrian justri didominasi pemanfaatan dengan pendirian kios oleh pedagang kaki lima sehingga pejalan kaki harus berjalan di badan jalan. Tanpa regulasi yang tepat, risiko komodifikasi budaya meningkat. Hal ini akan mengancam warisan yang ingin disajikan oleh penyedia walking tour.
Infrastruktur juga memainkan peran penting dalam keberhasilan walking tour. Jalan-jalan di Yogyakarta, meskipun kaya akan sejarah sering kali kurang fasilitas yang diperlukan untuk mengakomodasi kelompok wisatawan yang besar. Peningkatan jalur pejalan kaki, tanda petunjuk, dan area istirahat sangat penting untuk meningkatkan pengalaman wisatawan peserta walking tour. Di Yogyakarta saat ini jalur pejalan kaki yang nyaman dan menyediakan tempat duduk pejalan kali untuk beristirahat tersedia terbatas di beberapa titik di kota terutama di area pusat pariwisata seperti Malioboro, Jalan Margo Mulyo, serta area Kotabaru. Investasi dalam infrastruktur tidak hanya menguntungkan wisatawan tetapi juga berkontribusi pada kualitas hidup secara keseluruhan bagi masyarakat Yogyakarta setempat yang tentunya menikmati fasilitas tersebut setiap hari. Hal ini sejalan dengan tujuan SDG untuk kota dan komunitas yang berkelanjutan.
Tantangan signifikan lainnya adalah memahami dan beradaptasi dengan preferensi wisatawan. Seiring pasar yang berkembang, penyedia walking tour harus tetap peka terhadap minat dan harapan wisatawan. Hal ini membutuhkan penelitian yang berkelanjutan dan mekanisme umpan balik untuk menyesuaikan pengalaman yang sesuai dengan beragam kelompok wisatawan. Perlunya melibatkan kemitraaan dengan masyarakat sipil dapat memberikan wawasan berharga dan mendorong kolaborasi diantara pemangku kepentingan di sektor pariwisata.
Pemasaran digital telah muncul sebagai alat yang kuat untuk mempromosikan walking tour, namun banyak penyedia walking tour yang kesulitan untuk memanfaatkan secara efektif. Dalam dunia yang semakin digital, kehadiran daring yang kuat sangat penting untuk menarik wisatawan. Program pelatihan yang fokus pada strategi pemasaran digital dapat memberdayakan penyedia walking tour lokal untuk menjangkau audiens yang lebih luas dan meningkatkan visibilitas mereka di pasar yang kompetitif.
Sumber daya manusia adalah aspek kritis lainnya yang dialami penyedia walking tour. Pemandu yang terampil dan berpengetahuan sangat penting untuk memberikan pengalaman berkualitas. Investasi dalam program pelatihan yang fokus pada warisan budaya, bercerita dan layanan pelanggan yang berkualitas dapat meningkatkan standar pengelolaan walking tour di Yogyakarta. Hal ini tidak hanya menguntungkan wisatawan namun juga memastikan bahwa pemandu dilengkapi keterampilan yang dibutuhkan untuk peluang kerja yang layak.
Konsep ekonomi sirkular juga dapat diintegrasikan ke dalam walking tour karena mempromosikan praktik pariwisata berkelanjutan. Dengan mendorong penggunaan bahan lokal, mengurangi limbah, dan mengukung pengrajin lokal, penyelenggaraan walking tour berkontribusi pada model pariwisata yang lebih berkelanjutan. Pendekatan ini sejalan dengan tujuan SDG untuk konsumsi dan produksi yang bertanggungjawab, memastikan bahwa pariwisata memberikan manfaat bagi komunitas lokal sambil melestarikan warisan budaya.
Sebagai kesimpulan, penyelenggaraan walking tour di Yogyakarta menawarkan jalur yang menjanjikan untuk pariwisata berkelanjutan namun membutuhkan upaya bersama untuk mengatasi kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh penyedia walking tour. Dengan mendorong kemitraan antara masyarakat sipil, pemerintah lokal, dan sektor swasta, pemangku kepentingan dapat bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung walking tour. Investasi yang tepat dalam infrastruktur, pelatihan dan pemasaran yang tepat, Yogyakarta dapat mengukuhkan posisi sebagai tujuan terkemuka untuk walking tour.
-Anik Nuryani-